Berkah Ilmu pada Hubungan murid dan guru
Hubungan murid dan guru dianggap tak lebih dari hubungan pemakai jasa dan pemberi jasa. Seperti pasien dan dokter, pemilik mobil dan tukang servis bengkel atau pengunjung resto dengan pemiliknya. Hanya dianggap transaksional biasa. Guru memberi pelajaran, murid membayar SPP bulanan. Sedikit saja ada ketidakpuasan, pelanggan bisa bebas melakukan komplain.
Padahal hubungan guru-murid bukanlah transaksi sederhana. Bahkan tak bisa disebut transaksi karena uang yang dibayarkan tidak akan mampu membeli ilmu yang diterima. Terlalu murah jika ilmu yang diterima seorang murid hanya dihargai dengan gaji bulanan atau spp yang diberikan. Apalagi jika ilmu tersebut adalah ilmu agama. Harganya lebih tak ternilai.
Dalam Islam, kedudukan ilmu memiliki kemulian nomor satu. Ahli ilmu jauh lebih utam dari ahli ibadah. Bahkan jihad yang merupakan amal tertinggi dan terberat tidak boleh melalaikan aktifitas mencari ilmu. Harus ada sebagian orang yang belajar mendalami agamanya agar bisa menjadi pemberi peringatan dan pengajar bagi umat.
Bagi guru, murid adalah amanah. Sanksi yang diberikan hendaknya diberikan sesuai peraturan dan dalam batas wajar. Demikian pula ta’dib atau pengajaran dalam bentuk hardikan hendaknya tidak melecehkan kehormatan.
Adapun bagi murid, hak seorang guru atas dirinya jauh lebih besar. Murid harus menghormati dan memuliakan guru. Penghormatan yang sama atau bahkan lebih besar dari penghromatan mereka terhadap orangtua. Imam Al Ghazali menjelaskannya dalam Al Ikhya’ (1/55). ”Hak para guru lebih besar daripada hak orang tua. Orang tua merupakan sebab kehadiran manusia di dunia fana, sedangkan guru bermanfaat bagi manusia untuk mengarungi kehidupan kekal. Kalaulah bukan karena jeri payah guru, maka usaha orang tua akan sia-sia dan tidak bermanfaat. Karena para guru yang memberikan manusia bekal menuju kehidupan akhirat yang kekal.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar